Kamis, 25 Desember 2008

Kemapanan???

Familiar dengan “Tokoh Kita” ?, ya, tokoh kita ini adalah bagian dari tetralogi Iwan Simatupang dalam beberapa karyanya. Ziarah, Merahnya merah, dan Kering. Mungkin beberapa di antara kita mengalami ”godaan” yang sama dengan yang dihadapi oleh si Tokoh Kita ini. Bagaimana kegelisahan hidup di mediasi oleh keinginan untuk lari dari masyarakat ”mainstream”.
Familiar dengan Cristopher McCandles??... atau lebih dikenal dengan Alexander Supertramp...yup, sama seperti Tokoh kita beliau ini juga berangkat dari kegelisahan terhadap masyarakat yang menelikungnya. Mungkin kita lebih mengidentifikasinya melalui penggambaran film Into The Wild, yang memvisualkan kegelisahan itu dengan begitu indah.
Di ranah nasional masih ada Soe Hok Gie, untuk tokoh yang satu ini...kita sebut dia sebagai perambah alam. Mungkin beliau yang satu ini berangkat dar kecintaannya terhadap alam bebas, namun apa bedanya...beliau juga melarikan ”ketelanjangan nalarnya” ini ke pangkuan alam yang telah mencabut nyawanya dengan sangat tragis.
Puaskah mereka setelah itu??
Kita sebagai satu kesatuan, sebuah masyarakat komunal menganggap mereka lari dari kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai makhluk bermasyarakat. Is that true?.
Coba saja begini, apa ukuran kemapanan kalau begitu? Bagaimana mengukurnya?. Rumah besar?, karir bagus dan progresif?, nominal materi??. Kelengkapan perabot berumah tangga?. Kemapanan adalah wujud yang stagnan dalam persepsi saya. Namun percayakah kalau kita makhluk yang evolutif cenderung revolusioner.
Coba kita jujur dengan diri kita, setiap individu manusia memiliki tanggung jawab terhadap eksistensi dirinya, menjadi pemusik?, menjadi seniman?...itu cuma mediasi. Intinya semua punya lingkaran merah besar yang isinya tanda tanya di dalam kepalanya masing-masing. Mungkin hanya orang-orang yang lebih kreatif yang mampu mengejanya menjadi bentuk nyata.
Semua individu hidup dengan struktur relasi mereka dengan orang lain, ada yang bentuknya feodal, ada yang berupa tanggung jawab terhadap masyarakat luas ataupun pasangan hidupnya. Bagaimana kita bisa memfasilitasi itu menjadi sebuah sinergi??. Tetap membuat kegelisahan itu hidup sebagai bara yang membakar nyawa kita untuk tetap hidup, atau membiarkannya padam menjadi sebuah robot terasing yang hidup dengan rutinitas menjemukan.
Seseorang yang saya kenal menggunakan kata”kompromi” sebagai kata-kata magisnya.
Intinya bagaimana kita…bertanggung jawab terhadap struktur besar kita berupa “society” dan juga…tidak melupakan hakikat kegelisahan dalam diri kita. Bagi saya pribadi…itu satu-satunya hal paling mungkin saat ini. Bukan berarti bersembunyi di balik ketiak kemapanan.

Sabtu, 11 Oktober 2008

BEING DEVIATE…

9 Oktober 2008

I’m acutely aware of my defact.
Gosh…a lot of coming in a second thought. I’m being glutton for i have in mind. Glutton eh?...is that even a word.
People values of what i’ve reached in life. But none of them pleasant.
Defact, yeah right…it so represent my own madness. But someone must be believe…Foucoult does. Madness is’nt exist. I call it desire, may be “hope” would be better. Believe it or not i’ve been restless for a half of my journey. Try to multiply with my age!. For every single deep breath, for every wink, for everytime I close my eyes, for each question I have in mind.
But none of them would acknowledge every single faults they trying to constraint. For them who reproach me, for them who trying to doctrine, for them who even knowing me better.
I’m so incredibly restless. It’s my superego…if you read Freudian previously.
I’m just trying to constructed yet intensely felt, subject issues vital to humanity: the agonies and ecstasies of love, sexuality, the unfathomable nature of death, the horrors of war, God and religious belief, the importance of humor, and other things the people believes. I’m not trying to threaten anybody.
I’m just…keep my “personal cube” alive!

Emily...

8 Oktober 2008

Because I could not stop for death
by: Emily Dickinson

Because I could not stop for Death –
He kindly stopped for me –
The Carriage held but just Ourselves –
And Immortality. We slowly drove –
He knew no haste
And I had put away
My labor and my leisure too,
For His Civility –
We passed the School,
where Children stroveAt Recess
– in the Ring –
We passed the Fields of Gazing Grain –
We passed the Setting Sun –
Or rather – He passed us –
The Dews drew quivering and chill –
For only Gossamer, my Gown –
My Tippet – only Tulle –
We paused before a House that seemed
A Swelling of the Ground –
The Roof was scarcely visible –
The Cornice –
in the Ground –
Since then – 'tis Centuries
– and yet
Feels shorter than the Day
I first surmised the Horses' Heads
Were toward Eternity –
----------------------------------------------------------------------------
My dear Emily…
For those who ain’t no see nor just hear
I see no lighten by the time they walk
For those who deny themselves for being sacrified
I see no sorrow but just a bunch of smudges
With this two hand and mind being molten
I can see your precious thought
Near or yet…I becoming your peer :-)
8 Oktober 2008


Because I could not stop for death

by: Emily Dickinson

Because I could not stop for Death –

He kindly stopped for me –

The Carriage held but just Ourselves –

And Immortality. We slowly drove –

He knew no haste

And I had put away

My labor and my leisure too,

For His Civility –

We passed the School,

where Children stroveAt Recess

– in the Ring –

We passed the Fields of Gazing Grain –

We passed the Setting Sun –

Or rather – He passed us –

The Dews drew quivering and chill –

For only Gossamer, my Gown –

My Tippet – only Tulle –

We paused before a House that seemed

A Swelling of the Ground –

The Roof was scarcely visible –

The Cornice –

in the Ground –

Since then – 'tis Centuries

– and yet

Feels shorter than the Day

I first surmised the Horses' Heads
Were toward Eternity –
----------------------------------------------------------------------------
My dear Emily…
For those who ain’t no see nor just hear
I see no lighten by the time they walk
For those who deny themselves for being sacrified
I see no sorrow but just a bunch of smudges
With this two hand and mind being molten
I can see your precious thought
Near or yet…I becoming your peer :-)

CANDU

7 Oktober 2008

Seorang teman pernah berkata bahkan seorang pemikir sejatipun butuh candu…
Awalnya aku memungkiri menyukai bertumpuk-tumpuk buku yang baru aku beli, dan aku lahap dalam satu dua hari. Aaargh…sangat “girl-fan” sekali!.
Tapi lalu semuanya buyar…ketika menyadari si empunya tulisan punya fantasi. Punya konsep yang ia sendiri yakin bisa mengubah isi dunia dengan tulisannya yang aku anggap “cemen”!. Industri hanya bagian kecil dari mimpinya yang terejawantahkan.
Lalu aku mencoba menghargainya sebagai bentuk apresiasi…
Aaaahh…what the hack!!, ruang kosong di benakku butuh diberi madu jangan selalu anti-biotik dan anti depressan yang buat aku jadi ngilu-ngilu!
So…Meyer, let’s see what u’re gonna do with me?! ;-)

KOMEDI atu TRAGEDI ??

6 Oktober 2008

Masih ingat trio Larry. Curly, dan Moe?. Yup, gambar hitam putih yang begerak-gerak saling menampar dan saling melempar pie, yang kita kenal dengan Three Stooges. Joke-nya membuat kita ketawa terpingkal-pingkal. Moe si leader dengan rambut batok kelapa dan karakternya yang kasar dan berkuasa. Nggak ada bosan-bosannya memukuli Curly si bodoh yang selalu salah melakukan perintah. Ada juga Larry si actor pasif, yang tadinya mau melerai kehebohan Moe dan Curly, tapi malah ikut bergelut dan merusak barang-barang disekitarnya. Atau sekedar melampiaskan kepasifannya dalam bentuk ancaman terhadap Curly dan balasan terhadap Moe.
Di wilayah local ada Warkop DKI dan Benyamin S, masih dengan ramuan slapstick yang sama. Naik tangga lalu jatuh. Belum cukup sakit karena jatuh masih harus menanggung ditimpa satu gallon cat mengguyur sekujur tubuh. Disusul dengan komedian-komedian lainnya hingga saat ini yang hadir seperti panu.
Ya, di ranah komedi anak-anak ada kartun macam Donald Duck dan Tom and Jerry.
Suatu saat Donald harus menerima resiko ditipu oleh keponakan-keponakannya yang bandel, saat mereka tidak terima diakali oleh kelakuan pamannya yang kadang licik. Dimulailah strategi pembalasan para keponakan dengan mengumpankan Uncle Donald pada beruang Grizzlies. Fiuuh…sadis betul!.
Belum Tom and Jerry yang nggak ada habis-habisnya saling berkejaran dan saling “membunuh”. Mitos kucing yang katanya punya sembilan nyawa sudah membohongi kita Kalau ta pikir-pikir mungkin nyawanya sudah habis selama masa penayangannya dari tahun 1946 sampai 1950. Dengan kemungkinan setiap adegan Tom mati “dibunuh” Jerry, baik disengaja atau tidak.
Semua bentuk komedi yang kita tonton setiap hari, dari mulai gambarnya masih hitam putih sampai era “Sponge Bob” dengan warna-warnanya yang menusuk mata, adalah bukti nyata kebutuhan manusia akan komedi.
Berbagai kritik terhadap violent and their unsophisticated comedy telah dilayangkan bahkan sejak Three Stooges pertama kali muncul pada tahun 1934. Bahkan sejak pendahulunya, mbah Charlie Chaplin di tahun 1889. Tapi tidak lantas panggung komedi dibredel begitu saja. Bahkan bentuk lawakan makin beragam, yang tadinya cuma pantomim dan bisu, lalu muncul pelawak-pelawak panggung (standing comedian), seperti Robin Williams, Steve Martin, Johnny Carson, W.C. Fields, Eddie Murphy, dan masih banyak lagi yang lebih berani tampil dipanggung tanpa naskah.
Munculnya kritik dan bahkan celaan terhadap bentuk komedi yang memuat adegan kekerasan juga diirngi dengan penghargaan dari para penggemar aksi komedian-komedian itu. Bahkan di tahun 1965 muncul generasi “Stoogemania” sebagai representasi keberhasilan Three stooges menjadi tayangan terlaris pada masanya.
Belum lagi di Negara kita yang begitu haus akan “hiburan”. Hawa-hawa kekerasan dan pelecehan seksual dalam tayangan komedi juga diyakini sebagai sebagai ramuan “penglaris”.
Komedi pada jamannya adalah refleksi karakter manusia. Komedi di panggung adalah gambaran peradaban dan produk peradaban.
Kalau dipikir-pikir, bukankah hidup ini juga seperti komedi?. Pada masanya manusia butuh melakukan kekerasan sebagai bagian dari bertahan hidup, sama seperti binatang. Manusia juga butuh tertawa sebagai bagian dari ekspresi tidak sadarnya, itu yang coba dikemukakan oleh Carl Gustav Jung dengan Collective Unconsciusness-nya.
Namun sampai dimana komedi telah mempengaruhi sendi kehidupan manusia hingga jadi yang paling penting?. Komedi dan tragedi. Itulah yang membangun peradaban manusia dari dulu hingga sekarang. Dengan kekerasan menyertainya??
Quel Horreur!!...
Dari dulu hingga sekarang semua makhluk bertahan hidup. Dengan pembenaran apapun. Bahkan nyata di depan hidung kita, dogma agama membenarkannya. Dari tahun 1099 dengan pecahnya perang salib hingga 2008 dengan adanya laskar ”pembenaran”. Rasanya malah lebih kejam...ketika pembantaian dilakukan atas nama agama yang mengajarkan cinta, kelembutan dan pengampunan.
Tapi tidak salah kalau mengingat refleksinya adalah komedi dan tragedi yang dari dulu hingga sekarang tetap ada. Dari mulai sejarah panggung komedi hingga tokoh kartun yang ditonton anak-anak kita selama 12 jam sehari!.
Jadi jangan lupa tertawa...saat kita menyaksikan adegan pembantaian lagi, lagi, dan lagi!. Karena hidup ini toh hanya komedi kan?...

Senin, 15 September 2008

Banyak mengeluh...fuuuhh...

Mengeluh...lagi-lagi mengeluh...selalu mengeluh...dan banyak mengeluh...
bukankah dengan jujur terhadap diri sendiri kita bisa mengurangi keluhan....
kalau gak mau...cukup bilang gak mau, kalau lapar cukup bilang lapar, kalau sedih cukup bilang sedih, kalau tidak perlu cukup menolak...
mungkin dengan jujur terhaap diri sendiri...satu-satunya jalan terbaik untuk mengharagai diri sendiri...dan berhenti mengeluh!!!

Berita Duka...

Hari ini 21 orang meninggal di Pasuruan...akibat berdesak-desakkan mengantri zakat.
Inalillahi...
Ada apa dengan orang-orang? sudah sebegitu mendesakkah kebutuhan masyarakat sampai nyawa bisa dengan mudah dipertaruhkan...untuk uang sebesar Rp. 30.000,-?!
Tapi lagi-lagi...saya juga tidak bisa melakukan apa-apa!.
Inikah yang dimaksud Nietzsche dengan...Ubermensch?!. Mengganti peradaban dengan orang-orang unggulan yang sanggup bertahan lebih lama?!...
Ironi...ketika pemerintah pun tidak menawarkan solusi apapun. Cerita hari ini akan berakhir berganti cerita besok, terus begitu sepanjang waktu. Lantas bagaimana...jika salah satu korbannya kita?.
Semoga arwah mereka yang meninggal diterima disisi Allah SWT!.

Berita Duka...

Hari ini 21 orang meninggal di Pasuruan...akibat berdesak-desakkan mengantri zakat.

Inalillahi...

Berita Duka...

Hari ini 21 orang meninggal di Pasuruan...akibat berdesak-desakkan mengantri zakat.

Inalilla

Rabu, 20 Agustus 2008

Di sebuah institusi pelayanan masyarakat….

Semua orang tersenyum...maniiiiiss sekali, bahkan diantaranya membukakan pintu untuk aku dan Citta. Padahal qta berdua belum mandi, cuma pakai baju tidur doank...bahkan Citta belum mandi for about two days, karena badannya kemarin sempat panas. Qta cuma mau bayar telephone siiih...yang katanya disini on-line. And then petugas jaga melayani qta dengan sangat sangat ramah, kalimat ini tidak dilebih-lebihkan karena memang begitu kenyataannya. Waaahhh...mudah-mudahan tidak ada yang ”berbau busuk” disini!. I mean, something doing with politics. Bagaimana tidak, masyarakat seperti aku menjadi sangat apatis terhadap ”willing to do politics” ketika memang semuanya serba dilebih-lebihkan ato istilahnya lebayyyy!!. Semuanya seolah-oleh bersikap amat peduli terhadap kebutuhan masyarakat, begitu concern terhadap problem yang dihadapi masyarakat, simple-nya bahkan untuk unit pelayanan saja yang biasanya minta ampun crowded , tiba-tiba dibuat sebegitu nyamannya untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kritik sosial. Alhamdulillah kalau ini memang progress pelayanan masyarakat, jangan jadi tentative sifatnya. Dan memang kalau disadari, hal-hal seperti ini sifatnya periodik, menjelang momen-momen tertentu. Aaaaahhh...”abdi mah jalmi alit” tidak paham dengan teori-teori politik macam itu. Namun yang pasti semoga semua ini tidak ada hubungannya dengan agenda besar perpolitikan bangsa kita di tahun 2009 nanti.
Lalu aku dan Citta melewati para petugas yang berdandan layaknya sinden itu...sadarlah aku hari ini adalah hari ultah instansi tersebut. Happy Birthday anyway!. Tapi semoga saja kinerja ini berlanjut terus yaaa...bukan momen ulangtahunnya saja. Alhamdulillah, theres nothing to do with politics for sure.

ps: tanpa maksud apa-apa!!!

Twilight & New Moon...make me fuddled!!!!

Twilight Saga, tinggal satu buku lagi...tadinya gengsi kalau harus baca novel ini terang-terangan. Tapi hasrat baca tidak bisa dibohongi. Dari lembar pertama hingga maunya ngebut untuk terus membolak-balik buku ini sampai lembaran terakhir, lalu menyesal karena baca novel ini terlalu cepat. Akhirnya novel ini aku baca untuk yang kedua kalinya dan berharap ceritanya berbeda saat re-reading novel ini. Dengan pola yang sama, buku kedua pun aku lahap dengan "pasti". And now, waiting for the 3'rd book, yang pastinya sama-sama addicting.
Why?....dont know how, but the story influenced me a lot.
Novel ini cukup membakar hasrat menulisku lebih lanjut. Tidak bisa dipungkiri , this teenage romance storybook has fullfil me with memory. Yang mudah-mudahan bisa membakar inspirasi-inspirasiku lagi. And i'm ready to create my own storybook!..
Tidak seperti Arundhati Roy bahkan tidak sebanding dengan Virginia Woolf atau Harper Lee…but it’s “something”!!.
Thanks for that inspiration Stephenie Meyer!

ps: jangan ada yang salah tafsir ya! (bah... ;) )

Dari apriori, lalu iri, akhirnya mensyukuri….

Baru buka blog punya kawan....mmmmhh, naluri natural perempuanku muncul. Rasanya pasti menyenangkan menjadi perempuan yang seperti itu...with a thousand flirty word spit up from her husband mouth in every single morning.
Lalu, aku memandang penuh wajah suami dan putri kecil kami yang tertidur seperti peri-peri. Rasanya ingin memeluk mereka dan menelan momen malam ini seperti menelan pil tidur yang biasa aku minum, lalu membawa mereka ke setiap sudut mimpi yang akan aku telusuri. Hmmm...rasanya sudah cukup terkenyangkan dengan menjadi seperti ini, bahkan ketika aku sadar suami bakal complain dengan tulisan yang "over exposed". Tapi perdebatan-perdebatan kecil itu adalah hanya bumbu, kehidupan keluarga kecil kami adalah "wajannya".
Merasa sudah sangat tercukupi dengan kasih sayang mereka yang "tersenyum simpul', apalagi yang harus aku cari...
Abah...i know what u're gonna say, i hear it previously ;)
love u both!

ps: yang umi tulis cuma untuk konsumsi hasrat "bersastra" nothing more!
u know how much i need you!

Senin, 18 Agustus 2008

Hari ini rutinitas berjalan seperti biasa. Dari mulai memandikan Citta my beloved princess, menyiapkan sarapan untuk suami dan citta, perdebatan-perdebatan kecil...yg dari dulu sampai sekarang selalu menggoda hari-hari kami dengan keceriaan.
Tadi ada inspirasi...lalu tiba-tiba menguap lagi. Sepertinya tulisan-tulisanku yang diburu waktu tidak akan tepat waktu...yeah welcome to the real work!
Mencium aroma nafas suami dan anakku memang memabukkan...jadi malas bikin kerjaan!...
thats it for today!...mau tidur dulu...zzzzzzzzzzz

Selasa, 22 Juli 2008

AMOR FATI

Lagi...menangis lagi...lagi...
Sudah 34 jam lebih sedikit...ujung-ujung mata sipit makin menyempit...
Kerongkongannya mati seperti ditali
Netra bungkam dan mulut terpejam
Yang dia minta hanya mengepak seperti lebah
Dan memuai seperti uap air, dalam setiap celoteh-celoteh apriori.
Apa artinya nestapa? Apa gunanya bahagia? Apa maknanya setia?
Dalam hidup seekor rayap yang beranak matahari
Lagi...dan menangis lagi...
Mimpinya terkoyak seperti perawan, dalam setiap malam ia menggumam.
Kembalikan langitnya, kembalikan udaranya, kembalikan cahya-cahyanya...
Kedalam sebuah box korek api
Kedalam kebebasan seekor ulat yang merajut galaksi
Dalam tetesan air mata dan sunyi yang abadi

Senin, 21 Juli 2008

MEROTASI MIMPI

# The Very Beginning
“Jiwa adalah hakikatnya Satu
Yang banyak adalah raga
Di mana ia bersemayam”.
Menjumput butir-butir pasir di jemari, mengangkat dan menengadahkannya ke atas langit,, butiran itu jatuh mengotori lengan putih yang tinggal tulang berlapis kulit. Hati berbisik, “dimana bisa kutemukan surga pasir dengan kehangatan seperti airmata?”. Aaah, rasa ibaku pada mereka yang mengasihani orang-orang berpuasa. Ruang di atas kepala sudah sangat tipis, setipis jarak dinding-dinding usus yang hampir menempel minta diisi. Kemarin baru saja berlalu, berikutnya hari ini dan nanti, semua akan terasa sama seperti ini.
Mengitari batuan karang berlapis lumut berlendir, kasar namun juga lembut. Permukaannya seperti kehidupan, basah halus dan mengerak di dalamnya. Yang aku mau hanya memandangnya, tidak berusaha untuk mengorek warna hijau cerah itu menjadi luka atau batu. Bibir bergetar, ”dimana bisa kutemukan dermaga yang aku tuju, yang sedingin kesunyian?”. Tetapi riak awan malah menjawab, dengan bayang kelebat sayap camar yang ribut. Ia menuruni bukit karang menjulang dengan separuh kerinduan yang hampir sempurna.
Dimana malam saat batin butuh sepi?, dimana hujan saat dia butuh tersiram?. Seperempat hari itu nyaris saja hilang tanpa kehadirannya.
”Tubuh adalah alat perhitungan
Astronomi ruh
Lihatlah melalui astrolabe itu
Dan jadilah seperti samudera”
Yang dicari mengikuti sepanjang jengkal mengitari ujung bumi. Satu-satu waktu tertaut berhadapan dengan maut, akankah tali temali berujung?.
Kisah merindu berjalan seiring waktu. Selalu ada dalam kehidupan mereka yang pencinta. Begitukah surga, harapan, kedamaian, dan kenikmatan yang akan menjadi hadiahnya?.
Yang dicari tidak hanya lubang peluru yang menembus pelipis kiri, atau borok bernanah yang menggerogoti hingga lubang telinga. Yang dicari bukan nyanyian kematian yang didendangkan sepanjang perjalanan menuju pemakaman, atau kartu nama bertoreh kata-kata berduka cita. Bukan bagaimana seharusnya bersemayam, atau melepas jasad di ketinggian. Yang dicari hanya waktu yang berlari mengejar mengoyak jati diri yang memang tidak akan pernah pasti. Yang dicari hanya sebutir bisul yang mungkin akan sangat dinikmati hingga menangis pedih dan meratapi kebahagiaan yang cuma bualan. Yang dimaui hanya merengkuh keindahan sebuah hakikat, tanpa syarat.
Seperti biasa kepiting menari-nari dengan buih liur ombak yang meleleh terpanggang matahari. Menatap wajah kekasih alam yang tersenyum tanpa mendung, bersih tanpa jerawat atau noda pigmentasi di serabut langit yang membiru. ”Kalau aku menyetubuhi keindahan wajah kekasih alamku akankah wajah anakku secantik matahari?”, lamunan menjulang menggapai sisi-sisi khayali. Lalu mulai menari-narikan jemari di atas hamparan pasir, membentuk spiral-spiral gugus rasa cinta pada kekasih. ”Aku dimabuk cinta!”.
Kepiting yang berderet tak mengganggu takjub akan konsistensi tiada henti. Lembut ayunan jemari yang melukis pasir hingga karang cadas dengan boreh darah. Pengorbanan tiada sia-sia, karena alam hanya menjawab dengan deburan rambut suarga yang menggulung.
Kekasih menangis, dengan lingkar hitam di pelupuk langit dan butiran-butiran hangat menjatuhi bumi. Menangis tersedu berlarut dengan emosi. Hasrat menggebu dalam gulungan ombak derita dan rasa cinta. Tatapan mengkilat menghujam permukaan karang yang membongkah pongah. Rasa cinta terwujud dalam keributan dan gulungan badai, di tengah samudera cinta. Asmara itu belum berhenti. Meloncat ke dalam panggilan jiwa, menyatu dengan debur dan ombak yang mengamuk, bertemu dengan lilitan-lilitan kasih sayang airmata langit yang kasmaran.
Badai asmara itu belum berhenti hingga hampir delapan jam lamanya. Cukup menyatu dengan yang dituju. Tanpa harus jadi luka, tanpa harus jadi bahagia perkawinan itu nyarislah sempurna. Ditunggu bayang-bayang malam, sang pengantin hanya terduduk sepi, terbujur menghadap jeritan-jeritan kelelawar yang membuka sepertiga malam. Bagaimana aku akan mempertahankan jalinan yang seperti sarang laba-laba. Teranyam hingga pada rongga yang paling kecil, menganyam masa lalu dengan hati-hati.