6 Oktober 2008
Masih ingat trio Larry. Curly, dan Moe?. Yup, gambar hitam putih yang begerak-gerak saling menampar dan saling melempar pie, yang kita kenal dengan Three Stooges. Joke-nya membuat kita ketawa terpingkal-pingkal. Moe si leader dengan rambut batok kelapa dan karakternya yang kasar dan berkuasa. Nggak ada bosan-bosannya memukuli Curly si bodoh yang selalu salah melakukan perintah. Ada juga Larry si actor pasif, yang tadinya mau melerai kehebohan Moe dan Curly, tapi malah ikut bergelut dan merusak barang-barang disekitarnya. Atau sekedar melampiaskan kepasifannya dalam bentuk ancaman terhadap Curly dan balasan terhadap Moe.
Di wilayah local ada Warkop DKI dan Benyamin S, masih dengan ramuan slapstick yang sama. Naik tangga lalu jatuh. Belum cukup sakit karena jatuh masih harus menanggung ditimpa satu gallon cat mengguyur sekujur tubuh. Disusul dengan komedian-komedian lainnya hingga saat ini yang hadir seperti panu.
Ya, di ranah komedi anak-anak ada kartun macam Donald Duck dan Tom and Jerry.
Suatu saat Donald harus menerima resiko ditipu oleh keponakan-keponakannya yang bandel, saat mereka tidak terima diakali oleh kelakuan pamannya yang kadang licik. Dimulailah strategi pembalasan para keponakan dengan mengumpankan Uncle Donald pada beruang Grizzlies. Fiuuh…sadis betul!.
Belum Tom and Jerry yang nggak ada habis-habisnya saling berkejaran dan saling “membunuh”. Mitos kucing yang katanya punya sembilan nyawa sudah membohongi kita Kalau ta pikir-pikir mungkin nyawanya sudah habis selama masa penayangannya dari tahun 1946 sampai 1950. Dengan kemungkinan setiap adegan Tom mati “dibunuh” Jerry, baik disengaja atau tidak.
Semua bentuk komedi yang kita tonton setiap hari, dari mulai gambarnya masih hitam putih sampai era “Sponge Bob” dengan warna-warnanya yang menusuk mata, adalah bukti nyata kebutuhan manusia akan komedi.
Berbagai kritik terhadap violent and their unsophisticated comedy telah dilayangkan bahkan sejak Three Stooges pertama kali muncul pada tahun 1934. Bahkan sejak pendahulunya, mbah Charlie Chaplin di tahun 1889. Tapi tidak lantas panggung komedi dibredel begitu saja. Bahkan bentuk lawakan makin beragam, yang tadinya cuma pantomim dan bisu, lalu muncul pelawak-pelawak panggung (standing comedian), seperti Robin Williams, Steve Martin, Johnny Carson, W.C. Fields, Eddie Murphy, dan masih banyak lagi yang lebih berani tampil dipanggung tanpa naskah.
Munculnya kritik dan bahkan celaan terhadap bentuk komedi yang memuat adegan kekerasan juga diirngi dengan penghargaan dari para penggemar aksi komedian-komedian itu. Bahkan di tahun 1965 muncul generasi “Stoogemania” sebagai representasi keberhasilan Three stooges menjadi tayangan terlaris pada masanya.
Belum lagi di Negara kita yang begitu haus akan “hiburan”. Hawa-hawa kekerasan dan pelecehan seksual dalam tayangan komedi juga diyakini sebagai sebagai ramuan “penglaris”.
Komedi pada jamannya adalah refleksi karakter manusia. Komedi di panggung adalah gambaran peradaban dan produk peradaban.
Kalau dipikir-pikir, bukankah hidup ini juga seperti komedi?. Pada masanya manusia butuh melakukan kekerasan sebagai bagian dari bertahan hidup, sama seperti binatang. Manusia juga butuh tertawa sebagai bagian dari ekspresi tidak sadarnya, itu yang coba dikemukakan oleh Carl Gustav Jung dengan Collective Unconsciusness-nya.
Namun sampai dimana komedi telah mempengaruhi sendi kehidupan manusia hingga jadi yang paling penting?. Komedi dan tragedi. Itulah yang membangun peradaban manusia dari dulu hingga sekarang. Dengan kekerasan menyertainya??
Quel Horreur!!...
Dari dulu hingga sekarang semua makhluk bertahan hidup. Dengan pembenaran apapun. Bahkan nyata di depan hidung kita, dogma agama membenarkannya. Dari tahun 1099 dengan pecahnya perang salib hingga 2008 dengan adanya laskar ”pembenaran”. Rasanya malah lebih kejam...ketika pembantaian dilakukan atas nama agama yang mengajarkan cinta, kelembutan dan pengampunan.
Tapi tidak salah kalau mengingat refleksinya adalah komedi dan tragedi yang dari dulu hingga sekarang tetap ada. Dari mulai sejarah panggung komedi hingga tokoh kartun yang ditonton anak-anak kita selama 12 jam sehari!.
Jadi jangan lupa tertawa...saat kita menyaksikan adegan pembantaian lagi, lagi, dan lagi!. Karena hidup ini toh hanya komedi kan?...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar