Selasa, 22 Juli 2008

AMOR FATI

Lagi...menangis lagi...lagi...
Sudah 34 jam lebih sedikit...ujung-ujung mata sipit makin menyempit...
Kerongkongannya mati seperti ditali
Netra bungkam dan mulut terpejam
Yang dia minta hanya mengepak seperti lebah
Dan memuai seperti uap air, dalam setiap celoteh-celoteh apriori.
Apa artinya nestapa? Apa gunanya bahagia? Apa maknanya setia?
Dalam hidup seekor rayap yang beranak matahari
Lagi...dan menangis lagi...
Mimpinya terkoyak seperti perawan, dalam setiap malam ia menggumam.
Kembalikan langitnya, kembalikan udaranya, kembalikan cahya-cahyanya...
Kedalam sebuah box korek api
Kedalam kebebasan seekor ulat yang merajut galaksi
Dalam tetesan air mata dan sunyi yang abadi

Senin, 21 Juli 2008

MEROTASI MIMPI

# The Very Beginning
“Jiwa adalah hakikatnya Satu
Yang banyak adalah raga
Di mana ia bersemayam”.
Menjumput butir-butir pasir di jemari, mengangkat dan menengadahkannya ke atas langit,, butiran itu jatuh mengotori lengan putih yang tinggal tulang berlapis kulit. Hati berbisik, “dimana bisa kutemukan surga pasir dengan kehangatan seperti airmata?”. Aaah, rasa ibaku pada mereka yang mengasihani orang-orang berpuasa. Ruang di atas kepala sudah sangat tipis, setipis jarak dinding-dinding usus yang hampir menempel minta diisi. Kemarin baru saja berlalu, berikutnya hari ini dan nanti, semua akan terasa sama seperti ini.
Mengitari batuan karang berlapis lumut berlendir, kasar namun juga lembut. Permukaannya seperti kehidupan, basah halus dan mengerak di dalamnya. Yang aku mau hanya memandangnya, tidak berusaha untuk mengorek warna hijau cerah itu menjadi luka atau batu. Bibir bergetar, ”dimana bisa kutemukan dermaga yang aku tuju, yang sedingin kesunyian?”. Tetapi riak awan malah menjawab, dengan bayang kelebat sayap camar yang ribut. Ia menuruni bukit karang menjulang dengan separuh kerinduan yang hampir sempurna.
Dimana malam saat batin butuh sepi?, dimana hujan saat dia butuh tersiram?. Seperempat hari itu nyaris saja hilang tanpa kehadirannya.
”Tubuh adalah alat perhitungan
Astronomi ruh
Lihatlah melalui astrolabe itu
Dan jadilah seperti samudera”
Yang dicari mengikuti sepanjang jengkal mengitari ujung bumi. Satu-satu waktu tertaut berhadapan dengan maut, akankah tali temali berujung?.
Kisah merindu berjalan seiring waktu. Selalu ada dalam kehidupan mereka yang pencinta. Begitukah surga, harapan, kedamaian, dan kenikmatan yang akan menjadi hadiahnya?.
Yang dicari tidak hanya lubang peluru yang menembus pelipis kiri, atau borok bernanah yang menggerogoti hingga lubang telinga. Yang dicari bukan nyanyian kematian yang didendangkan sepanjang perjalanan menuju pemakaman, atau kartu nama bertoreh kata-kata berduka cita. Bukan bagaimana seharusnya bersemayam, atau melepas jasad di ketinggian. Yang dicari hanya waktu yang berlari mengejar mengoyak jati diri yang memang tidak akan pernah pasti. Yang dicari hanya sebutir bisul yang mungkin akan sangat dinikmati hingga menangis pedih dan meratapi kebahagiaan yang cuma bualan. Yang dimaui hanya merengkuh keindahan sebuah hakikat, tanpa syarat.
Seperti biasa kepiting menari-nari dengan buih liur ombak yang meleleh terpanggang matahari. Menatap wajah kekasih alam yang tersenyum tanpa mendung, bersih tanpa jerawat atau noda pigmentasi di serabut langit yang membiru. ”Kalau aku menyetubuhi keindahan wajah kekasih alamku akankah wajah anakku secantik matahari?”, lamunan menjulang menggapai sisi-sisi khayali. Lalu mulai menari-narikan jemari di atas hamparan pasir, membentuk spiral-spiral gugus rasa cinta pada kekasih. ”Aku dimabuk cinta!”.
Kepiting yang berderet tak mengganggu takjub akan konsistensi tiada henti. Lembut ayunan jemari yang melukis pasir hingga karang cadas dengan boreh darah. Pengorbanan tiada sia-sia, karena alam hanya menjawab dengan deburan rambut suarga yang menggulung.
Kekasih menangis, dengan lingkar hitam di pelupuk langit dan butiran-butiran hangat menjatuhi bumi. Menangis tersedu berlarut dengan emosi. Hasrat menggebu dalam gulungan ombak derita dan rasa cinta. Tatapan mengkilat menghujam permukaan karang yang membongkah pongah. Rasa cinta terwujud dalam keributan dan gulungan badai, di tengah samudera cinta. Asmara itu belum berhenti. Meloncat ke dalam panggilan jiwa, menyatu dengan debur dan ombak yang mengamuk, bertemu dengan lilitan-lilitan kasih sayang airmata langit yang kasmaran.
Badai asmara itu belum berhenti hingga hampir delapan jam lamanya. Cukup menyatu dengan yang dituju. Tanpa harus jadi luka, tanpa harus jadi bahagia perkawinan itu nyarislah sempurna. Ditunggu bayang-bayang malam, sang pengantin hanya terduduk sepi, terbujur menghadap jeritan-jeritan kelelawar yang membuka sepertiga malam. Bagaimana aku akan mempertahankan jalinan yang seperti sarang laba-laba. Teranyam hingga pada rongga yang paling kecil, menganyam masa lalu dengan hati-hati.