Sabtu, 11 Oktober 2008

BEING DEVIATE…

9 Oktober 2008

I’m acutely aware of my defact.
Gosh…a lot of coming in a second thought. I’m being glutton for i have in mind. Glutton eh?...is that even a word.
People values of what i’ve reached in life. But none of them pleasant.
Defact, yeah right…it so represent my own madness. But someone must be believe…Foucoult does. Madness is’nt exist. I call it desire, may be “hope” would be better. Believe it or not i’ve been restless for a half of my journey. Try to multiply with my age!. For every single deep breath, for every wink, for everytime I close my eyes, for each question I have in mind.
But none of them would acknowledge every single faults they trying to constraint. For them who reproach me, for them who trying to doctrine, for them who even knowing me better.
I’m so incredibly restless. It’s my superego…if you read Freudian previously.
I’m just trying to constructed yet intensely felt, subject issues vital to humanity: the agonies and ecstasies of love, sexuality, the unfathomable nature of death, the horrors of war, God and religious belief, the importance of humor, and other things the people believes. I’m not trying to threaten anybody.
I’m just…keep my “personal cube” alive!

Emily...

8 Oktober 2008

Because I could not stop for death
by: Emily Dickinson

Because I could not stop for Death –
He kindly stopped for me –
The Carriage held but just Ourselves –
And Immortality. We slowly drove –
He knew no haste
And I had put away
My labor and my leisure too,
For His Civility –
We passed the School,
where Children stroveAt Recess
– in the Ring –
We passed the Fields of Gazing Grain –
We passed the Setting Sun –
Or rather – He passed us –
The Dews drew quivering and chill –
For only Gossamer, my Gown –
My Tippet – only Tulle –
We paused before a House that seemed
A Swelling of the Ground –
The Roof was scarcely visible –
The Cornice –
in the Ground –
Since then – 'tis Centuries
– and yet
Feels shorter than the Day
I first surmised the Horses' Heads
Were toward Eternity –
----------------------------------------------------------------------------
My dear Emily…
For those who ain’t no see nor just hear
I see no lighten by the time they walk
For those who deny themselves for being sacrified
I see no sorrow but just a bunch of smudges
With this two hand and mind being molten
I can see your precious thought
Near or yet…I becoming your peer :-)
8 Oktober 2008


Because I could not stop for death

by: Emily Dickinson

Because I could not stop for Death –

He kindly stopped for me –

The Carriage held but just Ourselves –

And Immortality. We slowly drove –

He knew no haste

And I had put away

My labor and my leisure too,

For His Civility –

We passed the School,

where Children stroveAt Recess

– in the Ring –

We passed the Fields of Gazing Grain –

We passed the Setting Sun –

Or rather – He passed us –

The Dews drew quivering and chill –

For only Gossamer, my Gown –

My Tippet – only Tulle –

We paused before a House that seemed

A Swelling of the Ground –

The Roof was scarcely visible –

The Cornice –

in the Ground –

Since then – 'tis Centuries

– and yet

Feels shorter than the Day

I first surmised the Horses' Heads
Were toward Eternity –
----------------------------------------------------------------------------
My dear Emily…
For those who ain’t no see nor just hear
I see no lighten by the time they walk
For those who deny themselves for being sacrified
I see no sorrow but just a bunch of smudges
With this two hand and mind being molten
I can see your precious thought
Near or yet…I becoming your peer :-)

CANDU

7 Oktober 2008

Seorang teman pernah berkata bahkan seorang pemikir sejatipun butuh candu…
Awalnya aku memungkiri menyukai bertumpuk-tumpuk buku yang baru aku beli, dan aku lahap dalam satu dua hari. Aaargh…sangat “girl-fan” sekali!.
Tapi lalu semuanya buyar…ketika menyadari si empunya tulisan punya fantasi. Punya konsep yang ia sendiri yakin bisa mengubah isi dunia dengan tulisannya yang aku anggap “cemen”!. Industri hanya bagian kecil dari mimpinya yang terejawantahkan.
Lalu aku mencoba menghargainya sebagai bentuk apresiasi…
Aaaahh…what the hack!!, ruang kosong di benakku butuh diberi madu jangan selalu anti-biotik dan anti depressan yang buat aku jadi ngilu-ngilu!
So…Meyer, let’s see what u’re gonna do with me?! ;-)

KOMEDI atu TRAGEDI ??

6 Oktober 2008

Masih ingat trio Larry. Curly, dan Moe?. Yup, gambar hitam putih yang begerak-gerak saling menampar dan saling melempar pie, yang kita kenal dengan Three Stooges. Joke-nya membuat kita ketawa terpingkal-pingkal. Moe si leader dengan rambut batok kelapa dan karakternya yang kasar dan berkuasa. Nggak ada bosan-bosannya memukuli Curly si bodoh yang selalu salah melakukan perintah. Ada juga Larry si actor pasif, yang tadinya mau melerai kehebohan Moe dan Curly, tapi malah ikut bergelut dan merusak barang-barang disekitarnya. Atau sekedar melampiaskan kepasifannya dalam bentuk ancaman terhadap Curly dan balasan terhadap Moe.
Di wilayah local ada Warkop DKI dan Benyamin S, masih dengan ramuan slapstick yang sama. Naik tangga lalu jatuh. Belum cukup sakit karena jatuh masih harus menanggung ditimpa satu gallon cat mengguyur sekujur tubuh. Disusul dengan komedian-komedian lainnya hingga saat ini yang hadir seperti panu.
Ya, di ranah komedi anak-anak ada kartun macam Donald Duck dan Tom and Jerry.
Suatu saat Donald harus menerima resiko ditipu oleh keponakan-keponakannya yang bandel, saat mereka tidak terima diakali oleh kelakuan pamannya yang kadang licik. Dimulailah strategi pembalasan para keponakan dengan mengumpankan Uncle Donald pada beruang Grizzlies. Fiuuh…sadis betul!.
Belum Tom and Jerry yang nggak ada habis-habisnya saling berkejaran dan saling “membunuh”. Mitos kucing yang katanya punya sembilan nyawa sudah membohongi kita Kalau ta pikir-pikir mungkin nyawanya sudah habis selama masa penayangannya dari tahun 1946 sampai 1950. Dengan kemungkinan setiap adegan Tom mati “dibunuh” Jerry, baik disengaja atau tidak.
Semua bentuk komedi yang kita tonton setiap hari, dari mulai gambarnya masih hitam putih sampai era “Sponge Bob” dengan warna-warnanya yang menusuk mata, adalah bukti nyata kebutuhan manusia akan komedi.
Berbagai kritik terhadap violent and their unsophisticated comedy telah dilayangkan bahkan sejak Three Stooges pertama kali muncul pada tahun 1934. Bahkan sejak pendahulunya, mbah Charlie Chaplin di tahun 1889. Tapi tidak lantas panggung komedi dibredel begitu saja. Bahkan bentuk lawakan makin beragam, yang tadinya cuma pantomim dan bisu, lalu muncul pelawak-pelawak panggung (standing comedian), seperti Robin Williams, Steve Martin, Johnny Carson, W.C. Fields, Eddie Murphy, dan masih banyak lagi yang lebih berani tampil dipanggung tanpa naskah.
Munculnya kritik dan bahkan celaan terhadap bentuk komedi yang memuat adegan kekerasan juga diirngi dengan penghargaan dari para penggemar aksi komedian-komedian itu. Bahkan di tahun 1965 muncul generasi “Stoogemania” sebagai representasi keberhasilan Three stooges menjadi tayangan terlaris pada masanya.
Belum lagi di Negara kita yang begitu haus akan “hiburan”. Hawa-hawa kekerasan dan pelecehan seksual dalam tayangan komedi juga diyakini sebagai sebagai ramuan “penglaris”.
Komedi pada jamannya adalah refleksi karakter manusia. Komedi di panggung adalah gambaran peradaban dan produk peradaban.
Kalau dipikir-pikir, bukankah hidup ini juga seperti komedi?. Pada masanya manusia butuh melakukan kekerasan sebagai bagian dari bertahan hidup, sama seperti binatang. Manusia juga butuh tertawa sebagai bagian dari ekspresi tidak sadarnya, itu yang coba dikemukakan oleh Carl Gustav Jung dengan Collective Unconsciusness-nya.
Namun sampai dimana komedi telah mempengaruhi sendi kehidupan manusia hingga jadi yang paling penting?. Komedi dan tragedi. Itulah yang membangun peradaban manusia dari dulu hingga sekarang. Dengan kekerasan menyertainya??
Quel Horreur!!...
Dari dulu hingga sekarang semua makhluk bertahan hidup. Dengan pembenaran apapun. Bahkan nyata di depan hidung kita, dogma agama membenarkannya. Dari tahun 1099 dengan pecahnya perang salib hingga 2008 dengan adanya laskar ”pembenaran”. Rasanya malah lebih kejam...ketika pembantaian dilakukan atas nama agama yang mengajarkan cinta, kelembutan dan pengampunan.
Tapi tidak salah kalau mengingat refleksinya adalah komedi dan tragedi yang dari dulu hingga sekarang tetap ada. Dari mulai sejarah panggung komedi hingga tokoh kartun yang ditonton anak-anak kita selama 12 jam sehari!.
Jadi jangan lupa tertawa...saat kita menyaksikan adegan pembantaian lagi, lagi, dan lagi!. Karena hidup ini toh hanya komedi kan?...