Kamis, 19 Maret 2009

MENCOBA BERDIRI SETEGAP KARANG

Aku berharap pada ratap burung hantu
Ingin sekali mainkan kembang api lagi
Atau merangkak memunggungi bulan
Aku mau memeluk malam ini
Dan menangisinya dalam hati saja
Kenapa mulutku tiba-tiba sepi
Dan tak bisa lagi merebak semburat pelangi
Kini ku meracah batuan kerikil
Bukan batangan kayu atau kacang kenari
Ingin sekali kutelan diriku sendiri
Dan bersembunyi saja...
Tapi rasa-rasanya langit takkan melepaskanku pergi
Menambatkan aku di tempat kakiku terpancang
Cukup berdiri saja setegap karang
Lalu melempar kailku ke tempat terdalam
Memaksa isi hatiku bermuntahan pelan-pelan
Semoga aku bisa bertahan...

PESONA

Aku ingin bakar pesona itu dari kedua bola matanya, agar malam ini aku bisa tidur lelap. Mungkinkah para dewa menurunkan bayangannya ke bumi, ketika matahari sedang tertidur hingga aku tidak tahu. Atau ia telah dibuang dari khayangan para bidadari untuk dihadiahkan pada pandangan mata nanarku. Seperti kunang-kunang pada malamnya, ia melayang di hadapan bintang bersaing dengan andromeda, menyakiti mataku dengan silau keindahan para dewata. Harusnya aku hunus dada tegap itu dengan sebilah parang, agar ia tak lagi mengganggu khayalanku selagi ia merusak detak nadiku. Aaah…terlalu jelas jika ini sebuah siluet, namun absurd jika ini takdir. Haruskah aku mengumpat matahari karena sinarnya begitu terang, sedang rasanya makhluk seperti aku lebih baik bersembunyi saja dalam gelap atau lipatan-lipatan kayu. Sampai ia tak perlu tahu kehadiran makhluk ini yang bisa merusak indahnya malam. Jika ada makhluk yang tidak tahu diri, terkutuklah aku yang saat ini berharap langit bisa ditapaki siapa saja, disetubuhi benda apa saja. Saat bumi pun tak pernah mengkhianati orbitnya, aku harus setia pada hukum alam dan keyakinan setiap manusia saat berangkat dari pemba'iatannya.Kalau saja gelap datang cepat, tentu aku tak perlu menyadari pertentangan nasib keindahan dan ketidakberuntungan. Menyesakkan dada, mengingkari keberadaanku sebagai makhluk dari jagat bumi. Aku masih punya harapan pada dunia yang entah dimana, akan membawa seorang sepertiku pada kebahagiaan seperti yang kubayangkan. Bumi menapaki langit, ikan terbang di khayangan, Dewata bersanding dengan seekor rusa, kabut turun menapaki kaki langit, aku menelan nafasku sendiri. Lawang khayangan telah dibukakan untuk siapa saja yang ingin merekreasikan mimpi, yang menggelegak memuntahkan ambisi dan nafsu, akal dan pertimbangan untuk memiliki pendamping bagi sebuah aura kehidupan. Kesadaran perlu disekolahkan untuk cukup tahu diri pada keberadaannya. Aaaah...hamba hanya penikmat khayali !.Ia mabukkanku dengan wewangian seorang satria. Berdiri seolah ombak tak akan sakiti sebongkah karang, menghilang diantara riak pesona dan pelangi batinku yang kini mencandu. Satriaku bertitik air hujan, dihisap dingin beribu sepi namun tetap terkendali seperti matahari yang setia menggantikan bulan. Menggeliat diiringi ribuan nyanyian peri, terlelap bermandikan bau boreh bayi.Hingga kini aku merana. Dalam lingkup seorang hamba, aku berhias menggunakan manik-manik surga. Terpukul sebagai makhluk yang tak merasa mujur, menyadari mimpi-mimpi nirmalanya mesti disudahi.Sudah separuhnya matahari melakukan pengorbanan. Jika saja kita yang ada di hampar tanah ini tak segera berangkat berperang, titian nasib akan selalu kita sesali. Maharana, sebuah medan laga dalam diri setiap makhluk-Nya. Berusaha sebagai sebuah kewajiban, mengarahkan nasib pada pertentangan derajat dan keadilan. Hampa sudah bagi yang menyerah, sungguh suci Sang Pencipta bagi yang mempertaruhkan titik darah penghabisan. Perlukah cinta dibela ?Apa hakku bicara kasih pada dunia yang baru saja kudapati ?, sedangkan kenyataan terlalu timpang untuk ditimang apalagi untuk ditawarkan. Indahnya maya selalu bisa dibela, apalagi jika kehangatan menyentuh tubuh dingin sepertiku. Harusnya aku bunuh saja pesona itu agar aku cukup tahu diri. Namun ia tak cukup berbesar hati untuk menghilang dari hadapanku. Dan ku terus tersiksa anugerah itu.

Senin, 16 Maret 2009

JAGAT RAYA KODE

Di hamparan ranah tanda baca dan abjad, para penulis menyampirkan ide gagasannya. Di ranah ini pula tanggung jawab publik menggelayutinya.
Adapun kebahagiaan absolut adalah ketika pesan itu tersampaikan, merubah gagasan kolektif publik salah satu efeknya, akibat lainnya adalah popularitas dan kebutuhan hidup yang terpenuhi.
Tanggung jawab menjadi seorang penyampai pesan publik adalah tanggung jawab setiap individu di jagat raya kode ini. Semua yang tertuang dalam karya seni, baik itu berupa karya sastra, karya seni musik, seni rupa, seni berkata-kata adalah kode yang diramu sedemikian rupa untuk dikritisi masyarakat, hakikatnya muncul perubahan dalam masayarakat.
Jadi alangkah sayangnya jika kita tidak mampu memanfaatkan kecanggihan teknologi media penyampai pesan ini dengan baik.
Satu bait tulisan bisa merubah visi dunia, satu titik di ribuan koma adalah perubahan. Jadi satu pesan berarti, di ribuan wall Facebook adalah perubahan. Satu konsistensi tulus dalam sebuah divisi perusahaan adalah angin segar.
Maka mulailah berkarya untuk sebuah perubahan. Mulailah menyelam di jagat raya kode ini untuk mencari celah penyampai pesan. Jangan sampai kita alergi dengan perubahan, jangan sampai kita terkencing-kencing menemui kenyataan di luar referensi manusia. Hakikatnya manusia belajar dan mencari, apapun bentuknya. Memanfaatkan waktu dalam setiap euforia adalah memancangkan diri kita di satu titik kesadaran.