Kamis, 25 Desember 2008

Kemapanan???

Familiar dengan “Tokoh Kita” ?, ya, tokoh kita ini adalah bagian dari tetralogi Iwan Simatupang dalam beberapa karyanya. Ziarah, Merahnya merah, dan Kering. Mungkin beberapa di antara kita mengalami ”godaan” yang sama dengan yang dihadapi oleh si Tokoh Kita ini. Bagaimana kegelisahan hidup di mediasi oleh keinginan untuk lari dari masyarakat ”mainstream”.
Familiar dengan Cristopher McCandles??... atau lebih dikenal dengan Alexander Supertramp...yup, sama seperti Tokoh kita beliau ini juga berangkat dari kegelisahan terhadap masyarakat yang menelikungnya. Mungkin kita lebih mengidentifikasinya melalui penggambaran film Into The Wild, yang memvisualkan kegelisahan itu dengan begitu indah.
Di ranah nasional masih ada Soe Hok Gie, untuk tokoh yang satu ini...kita sebut dia sebagai perambah alam. Mungkin beliau yang satu ini berangkat dar kecintaannya terhadap alam bebas, namun apa bedanya...beliau juga melarikan ”ketelanjangan nalarnya” ini ke pangkuan alam yang telah mencabut nyawanya dengan sangat tragis.
Puaskah mereka setelah itu??
Kita sebagai satu kesatuan, sebuah masyarakat komunal menganggap mereka lari dari kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai makhluk bermasyarakat. Is that true?.
Coba saja begini, apa ukuran kemapanan kalau begitu? Bagaimana mengukurnya?. Rumah besar?, karir bagus dan progresif?, nominal materi??. Kelengkapan perabot berumah tangga?. Kemapanan adalah wujud yang stagnan dalam persepsi saya. Namun percayakah kalau kita makhluk yang evolutif cenderung revolusioner.
Coba kita jujur dengan diri kita, setiap individu manusia memiliki tanggung jawab terhadap eksistensi dirinya, menjadi pemusik?, menjadi seniman?...itu cuma mediasi. Intinya semua punya lingkaran merah besar yang isinya tanda tanya di dalam kepalanya masing-masing. Mungkin hanya orang-orang yang lebih kreatif yang mampu mengejanya menjadi bentuk nyata.
Semua individu hidup dengan struktur relasi mereka dengan orang lain, ada yang bentuknya feodal, ada yang berupa tanggung jawab terhadap masyarakat luas ataupun pasangan hidupnya. Bagaimana kita bisa memfasilitasi itu menjadi sebuah sinergi??. Tetap membuat kegelisahan itu hidup sebagai bara yang membakar nyawa kita untuk tetap hidup, atau membiarkannya padam menjadi sebuah robot terasing yang hidup dengan rutinitas menjemukan.
Seseorang yang saya kenal menggunakan kata”kompromi” sebagai kata-kata magisnya.
Intinya bagaimana kita…bertanggung jawab terhadap struktur besar kita berupa “society” dan juga…tidak melupakan hakikat kegelisahan dalam diri kita. Bagi saya pribadi…itu satu-satunya hal paling mungkin saat ini. Bukan berarti bersembunyi di balik ketiak kemapanan.