Kamis, 08 Desember 2011

Perempuan generasi ketiga

Pernah nonton Sex and The City?.
Tau Carrie Bradshaw dong ya? Yankees perempuan yang sexy, cantik, cerdas, mapan dan selalu percaya diri dengan “kediriannya”. Seorang kolumnis, editor majalah mode ternama, trend setter mode di New York. Perempuan dengan ciri “having it all” pada masanya.



Saya mengikuti frasa persahabatan kelompok perempuan ini dari mereka umur 30 tahun, hingga session terakhir Samantha menghadapi problem pre-menopouse. Di saat yang sama sahabatnya sedang asik-asiknya mengalami fase motherhood membesarkan anak-anak mereka yang tumbuh remaja.

Kisah Carrie, Samantha, Miranda dan Charlotte ini hanya sedikit symbol, penanda munculnya perempuan “generasi ketiga”. Yang tidak lagi bicara masalah kesetaraan, problem genital dan kesehatan reproduksi perempuan, seperti pendahulu mereka aktivis-aktivis feminis radikal modern.


James Wolcott seorang pengamat budaya popular di Amerika Serikat, menggunakan istilah “postfeminist chicklit” untuk fenomena ini. Ini adalah reaksi pada beberapa generasi feminis yang berdebat di antara mereka sendiri tentang definisi feminisme, tentang nature vs nurture, dan pria jahat vs patriarki jahat. Perempuan-perempuan posfeminis ini adalah mereka yang memproklamirkan keperempuanan mereka, merayakan kesukariaan mereka, dan terbuka dengan definisi-definisi pakar, dan asumsi masyarakat.

Perempuan generasi ketiga, adalah mereka yang secara nyata memproklamirkan hidupnya untuk karir dan karya, yang bertolak belakang dengan cita-cita politik feminis radikal era sebelumnya, dan memandang feminisme sebagai anakronisme.
Mungkin karena gerakan ini muncul, setelah perempuan mencapai kesetaraan hingga tidak perlu lagi ada gerakan protes. Satu hal lagi, gerakan posfeminisme ini seolah menegaskan bahwa tidak ada lagi ada dikotomi paradox tentang peran ganda perempuan sebagai manusia bergagasan dan peran naturalnya sebagai seorang ibu.
Tentang dunia privat dan dunia publik, dimana keinginan menapak dan meperluas jejaring karirnya tidak perlu lagi menegasikan keinginannya membangun keluarga. Ini yang juga memicu munculnya “gerakan laki-laki baru”, banyaknya bermunculan “bapak rumah tangga”. Sebagai factor penyokong fenomena posfeminisme.


Banyak yang menganggap bahwa posfeminisme adalah gerakan antifeminis, feminisme “tanpa perempuan”, backlash dan reaksi buruk dari gerakan radikal feminis gelombang kedua. Betulkah begitu?

Menurut saya, meski di tanah air gerakan feminisme ini masih kelihatan “malu-malu”. Namun ini tidak semata menjadi kematian gerakan perempuan. Bisa jadi upaya dari penggabungan simultan, revisi, dan depolitisasi dari banyak tujuan utama gerakan perempuan gelombang kedua. Di sinilah posefeminisme mengalami pergeseran konseptual dari paham terdahulu, dari debat sekitar persamaan dan kesetaraan ke debat yang difokuskan pada “perbedaan”.

Di dalam prosesnya, posfeminis memfasilitasi konsepsi pluralistik, yang berbasis luas perihal penerapan feminisme, dan memusatkan perhatiannya pada tuntutan dari budaya yang dimarjinalkan, diaspora, dan yang terkoloni, bagi suatu feminisme nonhegemonik yang mampu memberikan suaranya pada feminisme lokal, pribumi, dan poskolonial.

Artinya meski banyak pendapat mengatakan ini cita-cita yang utopis, ada harapan yang tumbuh di luar konteks perdebatan sengit antara aktivis feminis itu sendiri. Harapan mengenai munculnya dunia perempuan yang semakin egaliter dan punya cirinya sendiri. Tidak harus melulu menuntut kesetaraan, tapi berdiri dengan identitasnya sendiri sebagai manusia yang memiliki sumbangsih utk lingkungan sekitarnya.

Sex and The City seolah membuka mata saya, bahwa bahkan di belahan dunia dengan tuntutan modernitas tinggi, nature of motherhood punmasih sesuatu yang dirindukan. Dan tidak perlu dibasmi dengan radikal. Hingga satu saat isu perempuan ini jadi seperti mitos dan dongeng, bagi manusia-manusia yang “sudah” egaliter.

2 komentar:

tflaneur mengatakan...

Medio 2000, saat feminisme sebagai diskursus demikian gegap gempita, saya seperti terasing di pojok ruang. Teman2 perempuan saya yang larut dalam gegap gempitanya tiba menempatkan saya dalam posisi opposite dari mereka, semata karena saya lelaki. Saat itu saya nyinyir, menyebutnya solidaritas kelamin.
Dalam setiap diskusi panjang, tiba2 saya menjadi defensif, menjadi bagian dari patriarki jahat yang akan diluluhlantakkan oleh teman2 feminis. Lalu sebagai responnya, bersama beberapa teman, kami menyebut diri sebagai "maskulin movement" :) hehe. Seperti lelaki minoritas dalam milieu perempuan amazon. Saya menggambarkannya secara karikaturis, bukan sebagai simbol kebencian, melainkan sebagai kritik anekdotal terhadap kegalakan teman2 feminis terhadap kami, para lelaki yang tiba2 digeneralisir sebagai bagian dari gerombolan patriark jahat.

Karena saya tidak pernah menempatkan perempuan sebagai lawan, melainkan sebagai sesama manusia, itu saja. Saya menghindari kata "setara" karena dalam penggunaan kata itu mengandaikan ada ketidaksetaraan dibawah sadar. Mengutip Lao Tze, Tao tidak ada saat diucapkan.

Melampaui perbedaan genital dan psiko-gender, faktanya kita manusia, tidak ada yang patut dibeda-beda. Jika beda mengandaikan kepentingan kuasa, tak ada kepentingan pula saya untuk menjadi tuan atas kuasa itu.

Belakangan, kata beda itu bukan opposite buat kata setara buat saya, karena faktanya memang beda, mengapa tidak dirayakan saja? Setara mengandaikan keseragaman, saya kerapkali bertemu teman feminis yang berjuang keras menjadi copycat dari maskulinitas, saat memegang kuasa, ia menjadi patriark baru.

Saya suka sekali term "bapak rumah tangga", karena siapa bilang lelaki tidak suka masak? Tidak suka mengganti popok bayi? Tidak suka merawat kulit dan rambutnya?

Jika ada term postfeminis, semestinya ada term postpatriark, lelaki yang menikmati kelelakiannya, dan bermitra dengan perempuan generasi ketiga sebagai sesama manusia, lalu merayakan kehidupan.

Alice Wonderland mengatakan...

hehe....buakankal aliansi laki-laki baru ini pun adalah postpatriark? :)
menurut saya feminist issue proses menuju feminisme yang melampaui kesadaran saat ini....bahasa "pak yasraf"-nya adala hiper-feminism.
segala sesuatu yang melampaui kesadaran, akan menemukan oposisi binernya.
lucu kalau dilihat....feminis radikal akan menemukan segerombolan "musuh" yang tanpa mereka sadari tumbuh dari benih pemikiran mereka sendiri....sebuah negasi :)